SEJARAH
BIOGRAFI Pahlawan INDONESIA
1. Biografi Cut Nyak Dien Biografi
Biografi Cut Nyak Dien
Biodata dan Profil Cut Nyak Dien Blog tempatnya mengenal Tokoh dan
Orang terkenal Di dunia. untuk menambah Ilmu pengetahuan kita juga
memotivasi diri untuk mengambil sisi Positive dari Pahlawan Indonesia
Cut Nyak Dien, lalau bagaimana kah perjalanan beliau dalam
memperjuangkan bangasa indonesia dan apa yang dia lakukan untuk
indonesia nahhh untuk lebih dekat mengenalnya maka mari kita lebih dekat
untuk mengenal Cut Nyak Dien sebagai pahlawan nasional Indonesia
Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, 1848,
seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan
Belanda pada masa Perang Aceh, Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga
bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar, wilayah VI Mukim pada tahun
1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia,
seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed
Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh
pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul
Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan
keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang
Lampagar.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien
adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama
(yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga
(memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang
dididik baik oleh orang tuanya). Banyak laki-laki yang suka pada Cut
Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah
dinikahkan oleh orang tuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda
menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke
daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun
meletus. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh yang dipimpin oleh
Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah
bertempur melawan Belanda yang dipimpin Johan Harmen Rudolf Köhler.
Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April
1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Köhler, dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut
Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
"Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
"Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Köhler tewas tertembak pada April 1873.
J.B. van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak. Namun, karena Teuku Umar mempersilakannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kaphe Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang diberi nama Cut Gambang.
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan "menyerahkan diri" kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Teuku Umar merahasiakan rencana untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar lalu mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.
Unit "Maréchaussée" lalu dikirim ke Aceh. Mereka dianggap biadab dan sangat sulit ditaklukan oleh orang Aceh. Selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van der Heyden membubarkan unit "De Marsose". Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Jendral Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien, menangis karena kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan berkata:
“ Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid”
Cut Nyak Dien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Selain itu, Cut Nyak Dien sudah semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena iba. Akibatnya, Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Dhien dipindah ke Sumedang berdasari orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Namun, Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, sehingga ia tertangkap. Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanan yang sudah dilakukan oleh ayah dan ibunya.
Setelah ditangkap, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di situ. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Namun, Cut Nyak Dien akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena ketakutan Belanda bahwa kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian mereka pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli dalam agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai "Ibu Perbu". Pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. "Ibu Perbu" diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964
2. Biodata Ki Hajar Dewantara
Ki
Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir
dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan
keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat
genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama
menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi
menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan
supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun
hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar
diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia
menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat
melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat
karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat
kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia,
Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong
penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan
patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi
pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang
wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada
tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk
mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada
waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan
bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker
(Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan
Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme
Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai
Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan
organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah
kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur
Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan
menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya
adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa
nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah
kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya
pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk
Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai
komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa
Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah
Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda
dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk
membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana
perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens
Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar
Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga).
Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de
Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda,
aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang
kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran
itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si
inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan
perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula
kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku
seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan
sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan
ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada
kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu,
pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg
menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering
(hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan
menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto
Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil.
Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi
pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan
memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena
hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto
Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang
ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal
dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri
Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan
untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian
ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan
perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan
meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan,
bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan
yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa
(Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat
menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka
mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh
kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang
dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya
merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober
1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi
itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya
mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga
tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik
ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah
ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan
dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman
Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap
dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat
(Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan
di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki
hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran
dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja
diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak
Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari
Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan
Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal
28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor
Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar
Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959
di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus
perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya,
Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar
Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki
Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan
berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan
risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar
sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah
direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip
Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah
pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara
keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat,
kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus
didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati
sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri
handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di
tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di
depan memberi teladan).
3. Biografi AA Maramis
Terima kasih semoga Biografi Biodata dan Profil biografi aa maramis - biodata mr aa maramis -
Silahkan
disimak mengenai Biografi Pahlawan Republik Indonesia untuk mengenang
jasa pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan Indonesia Kita
tercinta Ini. silahkan Lihat Biografi AA Maramis Pahlawan asli Manado
Mr. Alexander Andries Maramis
(lahir di Manado, Sulawesi Utara, Hindia Belanda tahun 1897 – meninggal
di Indonesia tahun 1977; usia 79/80 tahun) adalah anggota KNIP, anggota
BPUPKI dan Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia dan merupakan
orang yang menandatangani Oeang Republik Indonesia pada tahun 1945. Adik
kandung Maria Walanda Maramis ini menyelesaikan pendidikannya dalam
bidang hukum pada tahun 1924 di Belanda.
Pada waktu Agresi
Militer Belanda II, AA Maramis berada di New Delhi, India dan ditugasi
untuk memimpin Pemerintah RI dalam pengasingan. Ia kemudian menjadi
Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Darurat yang diketuai oleh Sjafruddin
Prawiranegara.
A.A. Maramis (Alexander Andreis Maramis)
Ketika
dilahirkan pada tahun 1897, tidak ada seorang pun yang berani menduga
bahwa anak itu kelak akan menjadi tokoh yang disegani dan disenangi.
Secara diam-diam ia tumbuh di besarkan di tengah-tengah keluarga petani
yang kebetulan memiliki kemampuan ekonomi di atas rata-rata petani
Minahasa pada zaman itu. Ia memperoleh perlakuan kasih saying dari kedua
orang tuanya. Begitu halnya dengan saudara saudaranya.
Setelah
cukup usianya maka ia disekolahkan seperti anak-anak lain pada
umumnya. Sementara menuntut ilmu di ELS dimana diajarkan bahasa
Belanda, ibunya meninggal dunia. Ia merasa sangat kehilangan dengan
meninggalnya ibunya yang amat dicintainya. Ayahnya kemudian kawin lagi.
Kota Jakarta memiliki arti teersendiri untuknya, disamping Manado. Di
sana ia harus tinggal dan bergaul di rumah keluarga Belanda, selain
harus menuntut ilmu dan mengikat persahabatan dengan kawan-kawan
sekolahnya di HBS. Ia mulai mengerti mengapa ia harus belajar bahasa
dan kebudayaan Belanda.
Kegunaan
praktis bahasa dan kebudayaan Belanda dan wawasan kenasionalan yang
baru dan mulai melembaga, telah menempa jiwanya Alex Maramis yang sedang
beranjak dewasa. Setelah lulus HBS, maka bertiga dengan Ahmad
Soubardjo dan Datuk Pamanjuntak dari Sumatra Barat, mereka pergi ke
negeri Belanda untuk menuntut ilmu. Tapi di negeri Belanda situasinya
berbeda dengan di Jakarta, apalagi Manado. Udara kebebasan yang mereka
hirup di Eropa sama sekali tidak pernah mereka alami di Indonesia. Para
mahasiswa kita mulai bergerak kea rah persatuan dan kesatuan diman
Alex Maramis berada di tengah-tengah arus yang sedang membanjir itu.
Indische Vereninging yang mereka bentuk sejak 1908 di ganti atas
persetujuan bersama menjadi Perhimpunan Indonesia. Kebanggaan identitas
Indonesia telah berkecambah dan mulai menguasai alam pikirannya.
Sebagai
seorang sarjana hukum, Alex Maramis kembali ke Indonesia pada tahun
1924. Sebenarnya dapat bekerja untuk kepentingan colonial, tetapa hal
itu tidak dilakukukannya. Satu-satunya cara adalh bekerja sebagai
Advokat dan pengacara di mana ia dapat langsung mendengar
keluhan-keluhan rakyat tertindas., sebagaimana yang dilakukan oleh
ayahnya. Namun masa lalu telah membuat Alex Maramis siap untuk mencintai
dan di cintai seorang janda muda keturunan Belanda: Elizabet Marei
Diena Veldhoedt. Kedunya sepakat untuk menikah pada tahun 1928, dua
tahun setelah Alex Maramis pindah ke Palembang. Sekarang ia mempunyai
seorang anak tiri yang dibwaw masuk istrinya ke lingkungan keluarga
mereka. Sebagai awal tanda kasihnya terhadap anak itu, ia menamakannya
Lexy Maramis.
Sejalan
dengan keanggotannya dalam Perhimpunan Indonesia, maka ketika PNI di
bentuk tahun 1927, ia masuk menjadi anggota. Ketika para pimpinan
partai itu di tangkap dimana-mana, ia sedang di Palembang dan terhindar
dari tindakan pemerintah colonial pada waktu itu. Sejak masih di negeri
Belanda, ia sudah berkata kepada teman-teman seperjuangannya dalm
Perhimpunan Indonesia bahwa perjuangan tidak hanya membutuhkan
perjuangan yang matang dan sasaran yang jelas. Di lain pihak, perjuangan
membutuhkan pula kesiapan dana untuk menunjang perjuangan itu sendiri,
suatu hal yang tidak dilakukan oleh PNI. Hal ini nyata dengan
diangkatnya Alex Maramis dalam tiga masa jabatan sebagai Menteri
Keuangan dimasa revolusi diman perjuangan nasional sangat membutuhkan
dukungan dana. Pada masa itu, ia ikut mendirikan KRIS dan mengantar
penyelundupan emas dan opium ke luar negeri setelah berhasil menembus
blikade musuh.
Dalam
beberapa situasi yang kritis dan menentukan, ia selalu tampil ke
depan. Ia ikut menandatangani Piagam Jakarta. Sebagai Menteri keuangan,
ia mengambil alih jabatan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri agar
PDRI dapat berfungsi melanjutkan perjuangan pada masa itu. Kejujuran
dan hasil perjuangannya selam menjabat Menteri keuangan, di lengkapi
pahit getir yang di kecapnya. Antar lain sebagai Duta Istimewa dengan
kuasa penuh untuk memeriksa administrasi keuangan dan dan personil di
perwakilan-perwakilan Indonesia di luar negeri. Jabatannya sebagai
Penasehat Delegasi ke perundingan KMB di negeri Belanda. Aknirnya
menjadi Duta Besar di berbagai Negara. Ke semua jabatan itu menuntut
pengabdian yang tinggi dan jiwa besar seorang pemimpin seperti Alex
Maramis ini.
Selama
itu ia tetap menjadi seorang suami yang di kasihi, seorang ayah tiri
yang bijaksana, dan seorang anggota keluarga Maramis yang paling
menyenangkan. Penuh disiplin pribadi, jujur dalam nerbagai jabatan,
Diplomat yang pandai dan tahu harga diri nasional. Tepatlah ia apabila
orang menilainya “Sepi Ing Pmrih, Rame Ing Gawe”. Tidak pernah ia
menuntut jasa atau mengih janji. Alex Maramis, tokoh yang pernah
memegang berbagai jabatan menteri dan duta besar, puluhan tahun lamanya
hidupmiskin beserta keluarganya, jauh dari tanah air. Dan pada tahun
1977, ia di pianggil pulang ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sempurnalah sudah kehadirannya di dunia ini.
4. Pangeran Diponegoro Biografi Pahlawan Nasional
Biografi
Biodata dan Profil . Blog tempatnya mengenal Tokoh dan Orang terkenal
Di dunia. untuk menambah Ilmu pengetahuan kita juga memotivasi diri
untuk mengambil sisi Positive dari seorang pangeran diponegoro biografi Tokoh dunia
Pastinya Kita sudah tidak asing
lagi dengan Pahlawan yang satu ini Pangeran Diponegoro (lahir di
Yogyakarta, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan,
8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) Makamnya berada di Makassar.
Diponegoro adalah putra sulung
Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada
tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan
(selir) bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri
non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama
kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.
NAHHH berikut adalah sepenggal kisah Hidup sang pangeran Diponegoro
Menyadari kedudukannya sebagai
putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan
Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang
istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih,
& Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Untuk riwayat perjuangan
Diponegoro silahkan disimak semoga menjadi Inspirasi baru buat anda
sekalian belajar sejarah tentang pahlawan diponegoro
Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan dan pengasingan
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
Latar Belakang Perang Diponegoro
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.
16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
Latar Belakang Perang Diponegoro
Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1] melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.
5. Biodata dan Biografi Bung KArno atau Ir. Soekarno
Terima kasih semoga Biografi Biodata
dan Profil Ir. Soekarno . Blog tempatnya mengenal Tokoh dan Orang
terkenal Di dunia Ir. Soekarno adalah presiden pertama Indonesia. untuk
menambah Ilmu pengetahuan kita juga memotivasi diri untuk mengambil sisi
Positive dari seorang Ir. Soekarno
Ir. Soekarno
| |
Presiden Indonesia ke-1
| |
---|---|
Masa jabatan 17 Agustus 1945–12 Maret 1967 (21 tahun) | |
Wakil Presiden | Mohammad Hatta (1945) |
Pendahulu | Tidak ada, jabatan baru |
Pengganti | Soeharto |
Lahir | 6 Juni 1901 Blitar, Jawa Timur, Hindia Belanda |
Meninggal | 21 Juni 1970 (umur 69) Jakarta, Indonesia |
Kebangsaan | Indonesia |
Partai politik | PNI |
Suami/Istri | Oetari (1921–1923) Inggit Garnasih (1923–1943) Fatmawati (1943–1956) Hartini (1952–1970) Kartini Manoppo (1959–1968) Ratna Sari Dewi (1962–1970) Haryati (1963–1966) Yurike Sanger (1964–1968) Heldy Djafar (1966–1969) |
Anak | Guntur Soekarnoputra Megawati Soekarnoputri Rachmawati Soekarnoputri Sukmawati Soekarnoputri Guruh Soekarnoputra (dari Fatmawati) Taufan Soekarnoputra Bayu Soekarnoputra (dari Hartini) Totok Suryawan (dari Kartini Manoppo) Kartika Sari Dewi Soekarno (dari Ratna Sari Dewi) |
Profesi | Insinyur Politikus |
Agama | Islam |
Tanda tangan |
Ir. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama
lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir di Surabaya Jawa Timur, 6 Juni 1901 –
meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden
Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966. Ia memainkan
peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan
Belanda. Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia yang pertama kali
mencetuskan konsep mengenai dasar negara Indonesia itu dan ia sendiri
yang menamainya Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia
(bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus
1945.
Soekarno menandatangani Surat
Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya -
berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan darat -
menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga
keamanan negara dan institusi kepresidenan. Supersemar menjadi dasar
Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen. Setelah
pertanggung jawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara
(MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Presiden Soekarno
diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS
pada tahun yang sama dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden
Republik Indonesia.
0 Response to "SEJARAH"
Post a Comment