10 Perang yang ada di Indonesia
Bagi kita yang pernah mempelajari
sejarah kemerdekaan Indonesia tentu memahami bagaimana pejuang di masa
lalu benar-benar berdedikasi membangun dan mempertahankan negara ini.
Semua ego kesukuan, agama, dan ras seolah runtuh di bawah satu payung
Merah-Putih. Indonesia adalah sesuatu yang mutlak, bereksistensi lebih
tinggi daripada sekadar kepentingan pribadi. Begitu banyak nyawa hilang,
darah menjelma menjadi sungai, dan kemiskinan menjadi pil pahit yang
terus ditelan tanpa tertahan. Untuk apakah ini semua? Sebuah daratan dan
laut yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, untuk Ibu Pertiwi yang
kita cintai: Indonesia.
Jalan untuk mencapai itu bukanlah
sesuatu yang sederhana. Kita menjalani perang besar selama lebih dari 3
abad untuk mencapai sebuah negara dan puluhan tahun setelahnya untuk
mempertahankan sebuah eksistensi yang masih muda. Perang untuk mencapai
kemerdekaan dan perang untuk mempertahankan kemerdekaan menjadi
peristiwa terpenting bagi bangsa Indonesia, dan bagi kita – generasi
muda yang mengecapnya dengan mudah.
Dari begitu banyak perang besar yang
terjadi di Indonesia, harus diakui beberapa di antaranya benar-benar
tampil begitu epik dan dramatis.
1. PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945 [SURABAYA]
Gencatan
senjata antara tentara Indonesia dan pihak Sekutu justru berbuntut ke
insiden Jembatan Merah. BrigJen Mallaby yang kala itu berpapasan dengan
milisi Indonesia terlibat baku tembak karena kesalahpahaman semata.
Kematian Mallaby memicu kemarahan tentara Sekutu. MayJen Robert Mansergh
yang menggantikan Mallaby lantas mengeluarkan ultimatum 10 November
1945 yang meminta pihak Indonesia untuk menyerahkan semua persenjataan
dan mengibarkan bendera putih. Tidak diindahkan, salah satu perang
paling destruktif di Indonesiapun tak terelakkan. Inggris mengerahkan
30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang untuk
mengepung Surabaya. Arek-arek Surabaya tak mengenal kata menyerah.
Dengan perlengkapan seadanya, mereka memutuskan untuk memberi
perlawanan. 6.000 rakyat Indonesia tewas dan 200.000 lainnya harus
mengungsi. Peristiwa Surabaya lantas menjadi pemicu upaya pertahanan
kemerdekaan di wilayah lain.
Pertempuran Surabaya
merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan
pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November
1945 di Kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama
pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah
Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan
Indonesia terhadap kolonialisme.
Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang
mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1942,
pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang
berdasarkan Perjanjian Kalijati. Setelah penyerahan tanpa syarat
tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.
Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah
tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika
Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan
Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno
kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945.
Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat
dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang.
Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak
daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar,
tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian
mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris
datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies)
atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti
tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang,
serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara
Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada
administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda.
NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng
bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu
gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat
Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.
Hotel Oranye - 1911
Setelah munculnya maklumat pemerintah
Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1
September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus
di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin
meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran
bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato
Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman
kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65
Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah
pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945,
tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru),
tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat
teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda
Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda
telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan
kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah
Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di
Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dan diplomat yang saat itu
menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang
masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai
Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa
lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai
perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan
meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato.
Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda
dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan
berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah
perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik,
yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan
mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono
melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke
atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula
bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan
tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera
Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera
kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato
tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama
antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil
tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak
memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum
akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk
meredakan situasi.
Brigadir Jenderal Aubertin Mallaby
Setelah gencatan senjata
antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal
29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap
saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara
Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut
memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan
tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul
20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan
dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.
Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir
dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang
pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan
terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan
jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak
Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan
pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia
menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI
dan administrasi NICA.
Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons)
meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia.
Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul
karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang
memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata
sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi.
Berikut kutipan dari Tom Driberg:
“… Sekitar 20 orang (serdadu) India
(milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah
terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan
senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia).
Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus
ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu
India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin
setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi.
Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan
serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua
senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah
pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir
Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan
gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua
puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya
tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia
dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak
bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
2. BANDUNG LAUTAN API
Peristiwa Bandung Lautan Api
adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi
Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam,
sekitar 200.000 penduduk Bandung[rujukan?] membakar
rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan
Bandung. Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara
NICA Belanda untuk dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas
strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.
Ultimatum Tentara Sekutu kepada Tentara
Rakyat Indonesia untuk meninggalkan kota Bandung memicu salah satu
gerakan paling spektakuler di sejarah perang Indonesia ini. Sadar bahwa
kekuatan senjata tidak akan berimbang dan kekalahan sudah pasti di depan
mata, TRI tidak rela jika Sekutu memanfaatkan Bandung sebagai pusat
militer untuk menginvasi wilayah yang lain. Berdasarkan hasil
musyawarah, sebuah tindakan bumi hangus dipilih untuk memastikan hal ini
tidak terjadi. 200.000 penduduk Bandung membakar rumah mereka selama
kurun waktu 7 jam dan bersama bergerak mengungsi ke wilayah selatan.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan
rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak dapat menggunakan
Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam
mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara
Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran
yang paling besar terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung,
di mana terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu. Dalam
pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan, dua anggota milisi BRI
(Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang
amunisi tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut
dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua
milisi tersebut di dalamnya. Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya
akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka
pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang mengevakuasi dari
Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah
kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota,
sehingga Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumihangusan Bandung tersebut
dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang Kemerdekaan
Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan
kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa
tersebut, TRI bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya
dari luar Bandung. Peristiwa ini mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu “Halo, Halo Bandung”
secara resmi ditulis, menjadi kenangan akan emosi yang para pejuang
kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu, menunggu untuk kembali ke
kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
3. OPERASI TRIKORA (Irian Barat)
Operasi
Trikora digelar dengan satu tujuan utama yang sederhana namun jelas
dengan berbagai usaha: merencanakan, mempersiapkan, dan menyelenggarakan
operasi militer untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia.
Belanda yang keras kepala dan tidak ingin menyerahkan Irian Barat kepada
Indonesia harus merasakan konsekuensi yang tidak ringan dari
keputusannya tersebut. Berbekal persenjataan berat yang baru saja
didapatkan dari Uni Soviet, sebuah operasi militer besar-besaran
dikerahkan; terbesar yang pernah dilakukan Indonesia sepanjang sejarah.
Ketika Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengklaim seluruh wilayah
Hindia Belanda, termasuk wilayah barat Pulau Papua. Namun demikian,
pihak Belanda menganggap wilayah itu masih menjadi salah satu provinsi
Kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda kemudian memulai persiapan untuk
menjadikan Papua negara merdeka selambat-lambatnya pada tahun 1970-an.
Namun pemerintah Indonesia menentang hal ini dan Papua menjadi daerah
yang diperebutkan antara Indonesia dan Belanda. Hal ini kemudian
dibicarakan dalam beberapa pertemuan dan dalam berbagai forum
internasional. Dalam Konferensi Meja Bundar tahun 1949, Belanda dan
Indonesia tidak berhasil mencapai keputusan mengenai Papua bagian barat,
namun setuju bahwa hal ini akan dibicarakan kembali dalam jangka waktu 1
tahun.
Pada bulan Desember 1950, PBB memutuskan bahwa Papua bagian barat
memiliki hak merdeka sesuai dengan pasal 73e Piagam PBB. Karena
Indonesia mengklaim Papua bagian barat sebagai daerahnya, Belanda
mengundang Indonesia ke Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan
masalah ini, namun Indonesia menolak. Setelah Indonesia beberapa kali
menyerang Papua bagian barat, Belanda mempercepat program pendidikan di
Papua bagian barat untuk persiapan kemerdekaan. Hasilnya antara lain
adalah sebuah akademi angkatan laut yang berdiri pada 1956 dan tentara
Papua pada 1957. Sebagai kelanjutan, pada 17 Agustus 1956 Indonesia
membentuk Provinsi Irian Barat dengan ibukota di Soasiu yang berada di
Pulau Tidore, dengan gubernur pertamanya, Zainal Abidin Syah yang
dilantik pada tanggal 23 September 1956.
Pada tanggal 6 Maret 1959, harian New York Times melaporkan
penemuan emas oleh pemerintah Belanda di dekat laut Arafura. Pada tahun
1960, Freeport Sulphur menandatangani perjanjian dengan Perserikatan
Perusahaan Borneo Timur untuk mendirikan tambang tembaga di Timika,
namun tidak menyebut kandungan emas ataupun tembaga
4. SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 (Yogyakarta)
Indonesia semakin berani ketika perlengkapan senjata dan
koordinasi militernya yang masih muda mulai menunjukkan potensi
pertahanan yang cukup kuat. Belanda yang di kala itu sedang menjajal
usaha invasi keduanya datang seolah tak terbendung. Namun, TNI tidak
tinggal diam. Sebuah rencana serangan disusun untuk menunjukkan bahwa
Indonesia tidak hanya memiliki sebuah kemampuan sebuah negara berdaulat,
tetapi juga eksistensi badan militer. Yogyakarta dipilih sebagai ajang
pembuktian. Selain sebagai ibu kota, Yogyakarta kala itu juga memuat
banyak wartawan asing yang signifikan untuk publisitas dan
memperkenalkan Indonesia. Serangan dimulai saat fajar, berlangsung
selama 6 jam, dan berhasil memukul mundur Belanda.
Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari,
serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah
Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota
Republik, Yogyakarta, serta kota-kota di sekitar Yogyakarta, terutama
Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi
III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol
Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang
bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan
fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam
pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.
Pos komando ditempatkan di desa Muto.
Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap
mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota.
Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera
dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol
Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas
Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur
dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk
sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki
sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam.
Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula
pasukan TNI mengundurkan diri.
Serangan terhadap kota Solo yang juga
dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga
tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang
diserang secara besar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat
dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap
pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur Magelang –
Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat
gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara
Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan
sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.
Dari pihak Belanda, tercatat 6 orang
tewas, dan diantaranya adalah 3 orang anggota polisi; selain itu 14
orang mendapat luka-luka. Segera setelah pasukan Belanda melumpuhkan
serangan terebut, keadaan di dalam kota menjadi tenteram kembali.
Kesibukan lalu-lintas dan pasar kembali seperti biasa, malam harinya dan
hari-hari berikutnya keadaan tetap tenteram.
Pada hari Selasa siang pukul 12.00
Jenderal Meier (Komandan teritorial merangkap komandan pasukan di Jawa
Tengah), Dr. Angent (Teritoriaal Bestuurs-Adviseur), Kolonel van Langen
(komandan pasukan di Yogya) dan Residen Stock (Bestuurs-Adviseur untuk
Yogya) telah mengunjungi kraton guna membicarakan keadaan dengan Sri
Sultan.
Dalam serangan terhadap Yogya, pihak
Indonesia mencatat korban sebagai berikut: 300 prajurit tewas, 53
anggota polisi tewas, rakyat yang tewas tidak dapat dihitung dengan
pasti. Menurut majalah Belanda De Wappen Broeder terbitan Maret 1949,
korban di pihak Belanda selama bulan Maret 1949 tercatat 200 orang tewas
dan luka-luka.
5. PERTEMPURAN LAUT ARU (Maluku)
Tidak
diragukan lagi, perang laut paling dramatis yang pernah terjadi di
Indonesia adalah Pertempuran Laut Aru yang merupakan bagian dari operasi
Trikora. Tiga kapal perang tempur Indonesia yang ditugaskan melakukan
operasi penyusupan, RI Matjan Tutul, RI Matjan Kumbang, dan RI Harimau,
harus berhadapan dengan sebuah takdir buruk. Operasi yang seharusnya
berjalan rahasia ini ternyata terendus oleh pihak otoritas Belanda.
Mereka mengirimkan dua kapal jenis destroyer dan pesawat tempur untuk
menenggelamkan ketiga kapal perang Indonesia. Namun, dengan heroiknya,
RI Matjan Tutul memutuskan untuk maju dan mengalihkan perhatian musuh,
memberikan kesempatan kepada dua kapal yang lain untuk melarikan diri.
Komodor Yos Sudarso wafat dalam pertempuran ini.
Hari
H untuk pelaksanaan operasi penyusupan adalah Senin, 15 Januari 1962.
Pada H minus tiga (-3), semua kapal ALRI telah merapat di rendezvous
point di sebuah pulau di Kepulauan Aru. Pasukan yang sudah diturunkan
dari Hercules AURI juga sudah diangkut kapal dari Letfuan menuju pulau
tersebut. Pada hari pertama di titik itu, pesawat-pesawat Belanda sudah
datang mengintai. Hal yang sama terjadi pada H -2 dan H -1.
Hari H pukul 17.00 waktu setempat, tiga
kapal mulai bergerak. KRI Harimau berada di depan, membawa antara lain
Kol. Sudomo, Kol. Mursyid, dan Kapten Tondomulyo. Di belakangnya adalah
KRI Macan Tutul yang dinaiki Komodor Yos Sudarso. Sedangkan di belakang
adalah KRI Macan Kumbang.
Menjelang pukul 21.00, Kol. Mursyid
melihat radar blips pada lintasan depan yang akan dilewati iringan tiga
kapal itu. Dua di sebelah kanan dan satu di kiri. Blips tersebut tidak
bergerak, menandakan kapal-kapal sedang berhenti. Ketiga KRI kemudian
melaju. Tiba-tiba terdengar dengung pesawat mendekat, lalu menjatuhkan
flare yang tergantung pada parasut. Keadaan tiba-tiba menjadi
terang-benderang, dalam waktu cukup lama. Tiga kapal Belanda yang
berukuran lebih besar ternyata sudah menunggu kedatangan ketiga KRI.
Kapal Belanda melepaskan tembakan
peringatan yang jatuh di samping KRI Harimau. Kol. Sudomo memerintahkan
untuk balas menembak namun tidak mengenai sasaran. Komodor Yos Sudarso
memerintahkan ketiga KRI untuk kembali. Ketiga kapal pun serentak
membelok 180o. Naas, KRI Macan Tutul macet dan terus membelok ke kanan.
Kapal-kapal Belanda mengira manuver berputar itu untuk menyerang mereka.
Sehingga mereka langsung menembaki kapal itu. Tembakan pertama meleset,
namun tembakan kedua tepat mengenai KRI Macan Tutul. Menjelang tembakan
telak menghantam kapal, Komodor Yos Sudarso meneriakkan perintah,
“Kobarkan semangat pertempuran!”
AURI berada dalam kondisi ditekan
karena misi yang gagal itu. Orang mengira, kekuatan AURI mampu
melayang-layang selamanya di udara dan mengawasi setiap jengkal wilayah
RI. Negara superpower seperti AS pun tidak akan bisa melakukannya di era
itu, apalagi kita. Bagaimana pesawat terbang melaksanakan misi bantuan
serangan udara tanpa ada koordinasi sebelumnya? Bahkan operasi itu
sendiri tidak pernah dibicarakan dengan pimpinan AURI. Namun saat gagal,
kesalahan ditimpakan ke pihak AURI. Untuk mengakhiri polemik, KSAU
Suryadarma mengundurkan diri pada 19 Januari 1962.
6. OPERASI DWIKORA (Malaysia)
Kecemasan
Soekarno bahwa Malaysia dan Kalimantan Utara akan menjadi kaki tangan
kolonial membuat operasi Dwikora dikerahkan. Malaysia yang kala itu
berada di bawah wewenang kekuasaan Inggris diberikan kesempatan untuk
melakukan referendum dan menentukan nasibnya sendiri. Namun, masyarakat
Malaysia saat itu justru mulai menghasilkan sikap anti-Indonesia dan
“meludahi” Tanah Air kita.
Soekarno yang marah memutuskan untuk
berperang. Sebuah pidato terkenal, Ganyang Malaysia, juga
diproklamasikan saat itu. Perang agen rahasia, sabotase, dan militer
terbuka dikerahkan. Indonesia harus melawan tiga negara sekaligus:
Malaysia, Inggris, dan Australia.
Pada
1961, Kalimantan dibagi menjadi empat administrasi. Kalimantan, sebuah
provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah
Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara,
kemudian dinamakan Sabah. Sebagai bagian dari penarikannya dari
koloninya di Asia Tenggara, Inggris mencoba menggabungkan koloninya di
Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk
Federasi Malaysia.
Rencana ini ditentang oleh Pemerintahan
Indonesia; Presiden Soekarno berpendapat bahwa Malaysia hanya sebuah
boneka Inggris, dan konsolidasi Malaysia hanya akan menambah kontrol
Inggris di kawasan ini, sehingga mengancam kemerdekaan Indonesia.
Filipina juga membuat klaim atas Sabah, dengan alasan daerah itu
memiliki hubungan sejarah dengan Filipina melalui Kesultanan Sulu.
Di Brunei, (TNKU) memberontak pada 8
Desember 1962. Mereka mencoba menangkap Sultan Brunei, ladang minyak dan
sandera orang Eropa. Sultan lolos dan meminta pertolongan Inggris. Dia
menerima pasukan Inggris dan Gurkha dari Singapura. Pada 16 Desember,
Komando Timur Jauh Inggris British Far Eastern Command mengklaim bahwa
seluruh pusat pemberontakan utama telah diatasi, dan pada 17 April 1963,
pemimpin pemberontakan ditangkap dan pemberontakan berakhir.
Filipina dan Indonesia resminya setuju
untuk menerima pembentukan Federasi Malaysia apabila mayoritas di daerah
yang hendak dilakukan dekolonial memilihnya dalam sebuah referendum
yang diorganisasi oleh PBB. Tetapi, pada 16 September, sebelum hasil
dari pemilihan dilaporkan. Malaysia melihat pembentukan federasi ini
sebagai masalah dalam negeri, tanpa tempat untuk turut campur orang
luar, tetapi pemimpin Indonesia melihat hal ini sebagai Persetujuan
Manila yang dilanggar dan sebagai bukti kolonialisme dan imperialisme
Inggris.
Sejak demonstrasi anti-Indonesia di
Kuala Lumpur, ketika para demonstran menyerbu gedung KBRI, merobek-robek
foto Soekarno, membawa lambang negara Garuda Pancasila ke hadapan Tunku
Abdul Rahman—Perdana Menteri Malaysia saat itu—dan memaksanya untuk
menginjak Garuda, amarah Soekarno terhadap Malaysia pun meledak.
Demonstrasi anti-Indonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung tanggal 17
September 1963, berlaku ketika para demonstran yang sedang memuncak
marah terhadap Presiden Sukarno yang melancarkan konfrontasi terhadap
Malaysia[5]an juga kerana serangan pasukan militer tidak resmi Indonesia
terhadap Malaysia. Ini berikutan pengumuman Menteri Luar Negeri
Indonesia Soebandrio bahwa Indonesia mengambil sikap bermusuhan terhadap
Malaysia pada 20 Januari 1963. Selain itu pencerobohan sukarelawan
Indonesia (sepertinya pasukan militer tidak resmi) mulai memasuki
Sarawak dan Sabah untuk menyebar propaganda dan melaksanakan penyerangan
dan sabotase pada 12 April berikutnya.Soekarno yang murka karena hal
itu mengutuk tindakan demonstrasi anti-Indonesian yang menginjak-injak
lambang negara Indonesia[6] dan ingin melakukan balas dendam dengan
melancarkan gerakan yang terkenal dengan nama Ganyang Malaysia. Soekarno
memproklamirkan gerakan Ganyang Malaysia melalui pidato beliau yang
amat bersejarah, berikut ini:
Kalau kita lapar itu biasa
Kalau kita malu itu juga biasa
Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan
hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu
Doakan aku, aku kan berangkat ke medan juang sebagai patriot Bangsa,
sebagai martir Bangsa dan sebagai peluru Bangsa yang tak mau diinjak-injak harga dirinya.
Serukan serukan keseluruh pelosok negeri bahwa kita akan bersatu untuk melawan kehinaan ini
kita akan membalas perlakuan ini dan kita tunjukkan bahwa kita masih
memiliki Gigi yang kuat dan kita juga masih memiliki martabat.
Yoo…ayoo… kita… Ganjang… Ganjang… Malaysia
Ganjang… Malaysia Bulatkan tekad Semangat kita
badja Peluru kita banjak Njawa kita banjak
Bila perlu satoe-satoe!
Soekarno.
7. INSIDEN HOTEL YAMATO (Surabaya)
Instruksi
Presiden Soekarno pada tanggal 31 Agustus 1945 untuk mengibarkan
bendera Merah Putih di seluruh pelosok Nusantara tidak serta-merta
membuat kedaulatan Indonesia berjaya. Belanda tampaknya tak kehilangan
akal untuk terus menancapkan taringnya di atas Tanah Air. Berkedok
sebuah lembaga kemanusiaan, Intercross, Belanda melakukan
langkah-langkah politik dan berunding dengan pihak Jepang di Hotel
Yamato. Pada tanggal 18 September 1945, sekelompok orang Belanda W.V. Ch
Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) di atas hotel
tersebut. Tentu saja ini memicu kemarahan besar rakyat Surabaya. Para
pemuda berkumpul di luar hotel dalam jumlah masif, marah karena
kedaulatan Indonesia yang terinjak. Mereka merangsek paksa, masuk ke
dalam hotel dan memicu apa yang kita kenal sebagai Insiden Hotel Yamato.
Bagian biru bendera Belanda tersebut dirobek. Bendera yang kini hanya
menyisakan warna merah dan putih dikibarkan kembali dengan disertai
pekik “Merdeka” para pemuda Surabaya.
Insiden Hotel Yamato
adalah peristiwa perobekan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru) menjadi
bendera Indonesia (Merah-Putih) di Hotel Yamato Surabaya (sekarang Hotel
Majapahit Surabaya) pada tanggal 18 September 1945 yang didahului oleh
gagalnya perundingan antara Sudirman (residen Surabaya) dan Mr. W.V.Ch
Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dan dikeluarkannya maklumat pemerintahan Soekarno tanggal 31
Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera
nasional Sang Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia,
gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok
kota Surabaya.
Di berbagai tempat strategis dan
tempat-tempat lainnya bendera Indonesia dikibarkan. Antara lain di teras
atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor Syucokan, gedung Gubernuran
sekarang, Jalan Pahlawan) yang terletak di muka gedung Kempeitai
(sekarang Tugu Pahlawan), di atas Gedung Internatio, disusul barisan
pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera Indonesia
datang ke Tambaksari (lapangan Stadion Gelora 10 November) untuk
menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda
Surabaya.
Hotel Oranye - 1911
Saat rapat tersebut lapangan Tambaksari
penuh lambaian bendera merah putih disertai pekik ‘Merdeka’ yang
diteriakkan massa. Pihak Kempeitai telah melarang diadakannya rapat
tersebut tidak dapat menghentikan dan membubarkan massa rakyat Surabaya
tersebut. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya kemudian
terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato
atau Oranje Hotel (sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan
no. 65 Surabaya.
Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang
sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak
Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini
disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross). Namun,
berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka
mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka
duduki, seperti Hotel Yamato. Pada 18 September 1945, datanglah di
Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.
Rombongan Sekutu tersebut oleh
administrasi Jepang di Surabaya ditempatkan di Hotel Yamato, Jl
Tunjungan 65, sedangkan rombongan Intercross di Gedung Setan, Jl
Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan
sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees: Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran).
Sekelompok orang Belanda di bawah
pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945,
tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru),
tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat
teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda
Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda
telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan
kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah
Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Kabar tersebut tersebar cepat di
seluruh kota Surabaya, dan Jl. Tunjungan dalam tempo singkat dibanjiri
oleh massa yang marah. Massa terus mengalir hingga memadati halaman
hotel serta halaman gedung yang berdampingan penuh massa yang diwarnai
amarah. Di sisi agak belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang
berjaga-jaga untuk mengendalikan situasi tak stabil tersebut.
Tak lama setelah mengumpulnya massa
tersebut, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat
sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui
pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah
Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke
hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia
berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar
bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam
perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan
menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung
memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam
ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga
tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan
pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar
Hotel Yamato.
Di luar hotel, para pemuda yang
mengetahui berantakannya perundingan tersebut langsung mendobrak masuk
ke Hotel Yamato dan terjadilah perkelahian di lobi hotel. Sebagian
pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda.
Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan
terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo
berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan
mengereknya ke puncak tiang kembali. Peristiwa ini disambut oleh massa
di bawah hotel dengan pekik ‘Merdeka’ berulang kali.
8. PERANG GERILYA SOEDIRMAN
Tidak
ada masyarakat Indonesia yang tidak mengenal sosok kharismatik,
Jenderal Soedirman. Dalam kondisi kesehatan yang bahkan tidak
memungkinkan untuk bergerak sendiri, Jenderal Soedirman tetap memimpin
pergerakan dari atas tandu. Taktik utamanya adalah dengan bergerilya,
menyerang pasukan musuh, dan kemudian bersembunyi. Beliau adalah ahli
strategi yang mumpuni dan sering berhasil menyerang pasukan Belanda dan
Sekutu di titik-titik yang memang berdampak signifikan. Sayangnya,
beliau harus kalah kepada ketidakberdayaan melawan penyakit tuberkolosis
yang semakin parah.
9. PERANG AMBARAWA (Semarang)
Sekutu memang tidak pernah berhenti berulah.
Kedatangan awal di Semarang untuk semata mengurus tahanan perang Jepang
justru berbuntut menjadi kekacauan. Rakyat marah ketika melihat para
tahanan yang sebagian besar merupakan eks-tentara Belanda tersebut
justru dipersenjatai. Serangan dilancarkan oleh Tentara Keamanan Rakyat
yang berhasil memukul mundur pasukan Sekutu hingga mereka terpaksa
bertahan di kompleks gereja. Tanggal 12 Desember 1945, kesatuan-kesatuan
TKR datang untuk menyerang dan memulai perang selama 1,5 jam. Melalui
strategi flanking, Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan memukul
mundur Sekutu.
10. PUPUTAN MARGARANA (Bali)
Bagi
Anda yang belum mengenal sejarah Bali sebelumnya, Puputan mungkin
tampil sebagai sebuah konsep yang masih asing terdengar. Namun, bagi
yang pernah mempelajarinya, Puputan merupakan tindakan paling patriotik
yang ada dalam sejarah Indonesia. Puputan adalah tradisi masyarakat Bali
untuk memberikan perlawanan terhadap siapa pun agresor yang berani
menyentuh Tanah Air hingga titik darah penghabisan. Tidak ada kata
mundur, tidak ada kata menyerah. Salah satu perang puputan paling
dramatis adalah Puputan Margarana yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai.
Dalam usaha mempertahankan desa Marga dari serangan NICA, Ngurah Rai
yang berhasil merampas senjata api dari tentara Belanda berkomitmen
untuk mengobarkan perang perlawanan hingga titik darah penghabisan.
Tentara Belanda yang sempat kewalahan dan kalah terpaksa meminta bantuan
sebagian besar pasukannya di Bali dan pesawat pengebom dari Makassar
untuk membasmi perlawanan ini. 96 orang tewas, termasuk I Gusti Ngurah
Rai. Dari pihak Belanda? Kurang lebih 400 orang tewas.
Pada waktu staf MBO berada di desa
Marga, I Gusti Ngurah Rai memerintahkan pasukannya untuk merebut senjata
polisi NICA yang ada di Kota Tabanan. Perintah itu dilaksanakan pada 18
November 1946 (malam hari) dan berhasil baik. Beberapa pucuk senjata
beserta pelurunya dapat direbut dan seorang komandan polisi NICA ikut
menggabungkan diri kepada pasukan Ngurah Rai. Setelah itu pasukan segera
kembali ke Desa Marga. Pada 20 November 1946 sejak pagi-pagi buta
tentara Belanda mulai nengadakan pengurungan terhadap Desa Marga. Kurang
lebih pukul 10.00 pagi mulailah terjadi tembak-menembak antara pasukan
Nica dengan pasukan Ngurah Rai. Pada pertempuran yang seru itu pasukan
bagian depan Belanda banyak yang mati tertembak. Oleh karena itu,
Belanda segera mendatangkan bantuan dari semua tentaranya yang berada di
Bali ditambah pesawat pengebom yang didatangkan dari Makassar. Di dalam
pertempuran yang sengit itu semua anggota pasukan Ngurah Rai bertekad
tidak akan mundur sampai titik darah penghabisan. Di sinilah pasukan
Ngurah Rai mengadakan “Puputan” atau perang habis-habisan di desa
margarana sehingga pasukan yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur,
termasuk Ngurah Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda ada lebih
kurang 400 orang yang tewas. Untuk mengenang peristiwa tersebut pada
tanggal 20 november 1946 di kenal dengan perang puputan margarana, dan
kini pada bekas arena pertempuran itu didirikan Tugu Pahlawan Taman
Pujaan Bangsa.
terima kasih infonya gan sangat bermanfaat
ReplyDeletePerang Diponegoro mana gan??
ReplyDeleteNumpang share gan :
Tenkup.com